Kamis, 21 Juli 2011

Askep Stroke lengkap

asuhan keperawatan stroke
Konsep Penyakit Stroke
  1. Pengertian Penyakit Stroke
Menurut World Health Organization (WHO, 1995) Stroke didefinisikan sebagai gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun fungsional yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau yang menimbulkan kematian, yang semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.
Stroke adalah kehilangan fungsi otak diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak, biasanya merupakan kulminasi penyakit serebrovaskuler selama beberapa tahun (Smeltzer, 2001).
Stroke merupakan sindrom klinis yang timbulnya mendadak, progresi cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24jam atau lebih, bisa juga langsung menimbulkan kematian yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer, 2000).
2.      Klasifikasi Stroke
Menurut National Institute of Neurological Disorder and Stroke (NINDS, 1990) Stroke diklasifikasikan menjadi 2 bagian berdasarkan etiologinya (penyebabnya) yaitu:
a.            Stroke Hemorragic ( perdarahan )
Stroke hemorragic merupakan suatu gangguan neurologis akut yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah sehingga mengganggu peredaran darah ke otak, timbul gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal di otak yang  terganggu.
b.            Stroke non Hemorragic ( bukan perdarahan )
Dapat berupa iskemia, emboli spesme atau thrombus pembuluh darah otak, umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama, baru bangun tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema karena hipoksia jaringan otak.
Selain klasifikasi diatas, khususnya stroke non hemorragic  dapat dibedakan menurut perjalanan penyakitnya, yaitu:
1.      TIA’S (Trans Iskemic Attack)
Gangguan neurologis sesaat, beberapa menit atau beberapa jam saja. Gejala akan hilang dengan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
2.      RIND (Reversible Iskemic Neurologis Defusit)
Gangguan neurologis setempat yang akan hilang secara sempurna dalam waktu satu minggu dan maksimal dalam waktu 3 minggu.
3.      Stroke In Volusion
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk. Proses seperti ini biasanya berjalan dalam beberapa hari.
4.      Stroke Komplit
Gangguan neurologis yang timbul dan telah menetap atau permanen.

3.   Etiologi Penyakit Stroke
Menurut Brunner dan Suddarth (2002) etiologi/faktor risiko penyakit stroke terbagi atas dua yakni faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu:
a.    Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :
a)        Usia
  Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa semakin tua usia, semakin besar pula risiko terkena stroke. Hal ini berkaitan dengan adanya proses degenerasi (penuaan) yang terjadi secara alamiah dan pada ummnya pada orang lanjut usia, pembuluh darahnya lebih kaku oleh sebab adanya plak (atherosclerosis).
b)        Jenis kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih besar untuk terkena stroke dibandingkan dengan perempuan. Hal ini mungkin terkait bahwa laki-laki cenderung merokok, dan rokok itu sendiri ternyata dapat merusak lapisan dari pembuluh darah tubuh.
c)        Herediter
Hal ini terkait dengan riwayat stroke pada keluarga. Orang dengan riwayat stroke pada keluarga, memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena stroke dibandingkan orang tanpa riwayat stroke pada keluarganya.
d)        Ras/etnik
Dari penelitian yang ditemukan bahwa ras kulit putih memiliki peluang lebih besar untuk terkena stroke dibandingkan dengan ras kulit hitam.

b.    Faktor risiko yang dapat di modifikasi :
a)        Hipertensi ( darah tinggi )
  Orang-orang yang terkena tekanan darah tinggi memiliki peluang besar untuk mengalami stroke. Bahkan hipertensi merupakan penyebab terbesar (etiologi) dari kejadian stroke itu sendiri. Hal ini disebabkan karena pada kasus hipertensi, dapat terjadi gangguan aliran darah tubuh dimana diameter pembuluh darah pada nantinya akan mengecil (vasokontroksi) sehingga darah yang mengalir keotak pun akan berkurang. Dengan pengurangan Aliran Darah Otak (ADO) maka otak akan kekurangan suplai oksigen dan juga glukosa (hipoksia), karena suplai berkurang secara terus menerus, maka jaringan otak lama-lama akan mengalami kamatian.
b)        Penyakit jantung
  Adanya penyakit jantung seperti jantung koroner, infak miokard (kematian otot jantung) juga merupakan faktor terbesar terjadinya stroke. Seperti kita ketahui, bahwa sentral dari aliran darah tubuh terletak di jantung. Bilamana pusat pengaturan aliran darahnya mengalami kerusakan, maka aliran darah tubuh pun akan terganggu. Termasuk aliran darah menuju ke otak. Karena adanya gangguan aliran, jaringan otak pun dapat mengalami kematian secara mendadak ataupun bertahap.
c)        Diabetes melitus
  Diabetes melitus (DM) atau disebut juga sebagai kencing manis, memiliki risiko mengalami stroke. Hal ini terkait dengan pembuluh darah penderita DM yang umumnya menjadi lebih kaku (tidak lentur). Adanya peningkatan ataupun penurunan kadar glukosa darah secara tiba-tiba juga dapat menyebabkan kematian jaringan otak.    
d)        Hiperkolesterolemia
  Hiparkolesterolemia merupakan keadaan dimana kadar kolesterol didalam darah berlebih. Kolesterol yang berlebih terutama jenis low density lipoprotein (LDL) akan mengakibatkan terbentuknya plak/kerak pada pebuluh darah, yang lama-lama akan semakin banyak dan menumpuk sehingga lama-lama akan mengganggu aliran darah.
e)        Obesitas
  Kegamukan juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stroke. Hal ini terkait dengan tingginya kadar lemak dan kolesterol dalam darah pada orang obesitas, dimana biasanya kada LDL (lemak jahat) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar HDLnya (lemak baik/menguntungkan).
f)          Merokok
  Orang-orang yang merokok ternyata memiliki kadar fibrinogen darah yang lebih tinggi dibandigkan dengan orang yang tidak merokok. Peningkatan kadar fibrinogen ini dapat mempermudah terjadinya penebalan pembuluh darah sehingga pembuluh darah menjadi sempit dan kaku dengan demikian dapat menyebabkan gangguan aliran darah.
4.   Patofisiologi Penyakit Stroke
               Menurut Long (1996), otak sangat tergantung kepada oksigen dan tidak mempunyai cadangan oksigen. Bila terjadi anoksia seperti halnya yang terjadi pada CVA, metabolisme di otak segera mengalami perubahan, kematian sel dan kerusakan permanen dapat terjadi dalam 3 sampai 10 menit. Tiap kondisi yang menyebabkan perubahan perfusi otak akan menimbulkan hipoksia atau anoksia. Hipoksia menyebabkan iskemik otak. Iskemik dalam otak waktu lama menyebabkan sel mati permanen dan berakibat terjadi infark otak yang disertai dengan edema otak. Karena pada daerah yang dialiri darah terjadi penurunan perfusi dan oksigen serta peningkatan karbondioksida dan asam laktat.
               Menurut Satyanegara (1998), adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera pada otak melalui empat mekanisme yaitu:
a.         Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan atau penyumbatan lumen sehingga aliran darah dan suplainya ke sebagian otak tidak adekuat, serta selanjutnya akan mengakibatkan perubahan-perubahan iskemik otak. Bila hal ini terjadi sedemikian hebatnya, dapat menimbulkan nekrosis (infark).
b.        Pecahnya dinding arteri cerebral akan menyebabkan bocornya darah ke jaringan         (haemorrhagi).
c.         Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan otak (misalnya: malformasi angiomatosa, aneurisma).
d.        Edema cerebri yang merupakan pangumpulan cairan di ruang interstisiel jarigan otak.
5.  Tanda dan Gejala Penyakit Stroke
               Menurut Smeltzer (2001), manifestasi klinis stroke terdiri atas:
a.       Defisit Lapang Penglihatan
1.        Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang penglihatan) tidak menyadari orang atau objek ditempat kehilangan, penglihatan, mengabaikan salah satu sisi tubuh, kesulitan menilai jarak.
2.        Kehilangan penglihatan perifer, kesulitan melihat pada malam hari, tidak menyadari objek.
3.        Diplopia (penglihatan ganda).
b.        Defisit Motorik
1.        Hemiparesis
Kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama. Paralisis wajah (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan).
2.        Ataksia
Berjalan tidak mantap, tegak tidak mampu menyatukan kaki, perlu dasar berdiri yang luas.
3.      Disartria (kesulitan dalam membentuk kata).
4.      Disfagia (kesulitan dalam menelan).
c.         Defisit Verbal
1.        Afasia Ekspresif
Tidak mampu membentuk kata-kata yang dapat dipahami, mungkin mampu bicara dalam respon kata tunggal.
2.        Afasia Reseptif
Tidak mampu memahami kata-kata yang dibicarakan, mampu bicara tapi tidak masuk akal.
3.        Afasia Global
Kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif.
4.        Defisit Kognitif
Pada penderita stroke akan kehilangan memori jangka pendek dan jangka panjang, penurunan lapang perhatian, kerusakan kemampuan untuk berkosentrasi, alasan abstrak buruk, perubahan penilaian.
5.        Defisit Emosional
Penderita akan mengalami kehilangan kontrol diri, labilitas emosional, penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress, depresi, menarik diri, rasa takut, bermusuhan dan marah, perasaan isolasi.

6.   Komplikasi
              Komplikasi stroke menurut Satyanegara (1998) :
a.         Komplikasi Dini (0-48 jam pertama)
1.         Edema serebri : defisit neurologis cenderung memberat, dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan akhirnya menimbulkan kematian.
2.         Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke stadium awal.
b.        Komplikasi Jangka Pendek (1-14 hari pertama)
1.          Pneumonia: akibat immobilsasi lama.
2.          Infark miokard.
3.         Emboli paru: cenderung terjadi 7-14 hari pasca stroke, sering kali pada saat penderita mulai mobilisasi.
4.          Stroke rekuren: dapat terjadi pada setiap saat.
c.         Komplikasi Jangka Panjang
Stroke rekuren, infark miokard, gangguan vascular lain: penyakit vascular perifer.

Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang terjadi pada pasien stroke yaitu:
a.         Hipoksia serebral diminimalkan dengan member oksigenasi.
b.        Penurunan darah serebral.
c.         Embolisme serebral.

7.     Penatalaksanaan
Menurut Harson (1996), kematian dan deteriosasi neurologis minggu pertama stroke iskemia oleh adanya odema otak. Odema otak timbul dalam beberapa jam setelah stroke iskemik mencapai puncak 24-96 jam. Odema otak mula-mula cytofosic, karena terjadi gangguan pada metabolisme seluler kemudian terdapat odema vasogenik karena rusaknya sawar darah otak setempat.
Waktu adalah otak meurpakan ungkapan yang menunjukkan batapa pentingnya pengobatan stroke sedini mungkin, karena ‘jendela terapi’ dari stroke hanya 3-6 jam. Penatalaksanaan yang cepat, tepat, dan cermat memegang peranan besar dalam menentukan hasil ukur pengobatan. Hal ini yang harus dilakukan:
a.         Stabilisasi pasien dengan tindakan ABC
b.        Pertimbangkan intubasi bila kesadaran stupor atau koma atau gagal nafas.
c.         Pasang jalur infuse intravena dengan larutan salin normal 0,9% dengan kecepatan 20 ml/jam, jangan memakai cairan hipotonis seperti dektrosa 5% dalam air dan salin 0, 45% karena dapat memperhebat edema otak.
d.        Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui kanul hidung.
e.         Jangan memberikan makanan atau minumam melalui mulut.
f.         Buat rekaman elektrokardiogram (EKG) dan lakukan foto rontgen toraks.
g.        Ambil sampel untuk pemeriksaan darah: pemeriksaan darah perifer lengkap dan trombossit, kimia darah (glikosa, elektrolit, ireum, dan kreatinin), masa protrombin, dan masa tromboplastin parsial.
h.        Jika ada indikasi, lakukan tes-tes berikut: kadar alcohol, fungsi hati, gas darah arteri, dan skrining toksikologi.
i.          Tegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
j.          CT Scan atau resonansi magnetic bila alat tersedia. Bila tidak ada, dengan skor Siriraj untuk menentukan jenis stroke.

8.     Pencegahan
A.    Pencegahan Primer
1.      Strategi kampanye nasional yang terintegrasi dengan program pencegahan penyakit vascular lainnya.
2.      Memasyarakatkan gaya hidup sehat bebas stroke:
·       Menghindari: rokok, stress mental, alcohol, kegemukan, konsumsi garam berlebihan, obat-obat golongan amfetamin, kokain, dan sejenisnya.
·               Mengurangi: kolesterol, dan lemak dalam makanan
·       Mengendalikan: hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung (misalnya fibrilasi atrium, infark miokard akut, penyakit jantung reumatik), penyakit vascular atreosklerotik lainnya.
·             Menganjurkan: konsimsi gizi seimbang dan olah raga teratur.
B.     Pencegahan Sekunder
1.      Modifikasi gaya hidup berisiko stroke dan faktor resiko, misalnya:
·           Hipertensi: diet, obat antihipertensi yang sesuai.
·           Diabetes melitus: diet, obat hipoglikemik oral/insulin.
·           Penyakit jantung aritmia nonvalvular (antikoagulan oral).
·           Dislipidemia: diet rendah lemak dan obat antidislipidemia.
·           Berhanti merokok
·           Hindari alkohol, kegemukan, dan kurang gerak.
·           Hiperurisemia: diet, antihiperurisemia.
·               Polisitemia.
2.      Melibatkan peran serta keluarga seoptimal mungkin.
3.      Obat-obatan yang digunakan:
·               Asetosal (asam asetil salisilat) digunakan sebagai obat pilihan pertama, dengan dosis berkisar antara 80-320 mg/hari.
·           Antikoagulan oral (warfarin/dikumoral) diberikan pada pasien dengan faktor resiko penyakit jantung (fibrilasi atrium, infark miokerd akut, kelainan katup), kondisi koangulopati yang lain dengan syarat-syarat tertentu. Dosis awal warfarin 10 mg/hr dan disesuaikan setiap hari berdasarkan hasil masa protrombin/trombotes (masa protombin 1,3-1,5 kali nilai control atau INR=2-3 atau trombotes 10-15%), biasanya baru tercapai setelah 3-5 hari pengobatan. Bila masa protrombin/trombotes sudah stabil maka frekuensi pemeriksaannya dikurangi menjadi setiap munggu kemudian setiap bulan.
·           Pasien yang tidak tahan asetosal, dapat diberikan tiklopidin 250-500 mg/hr, dosis rendah asetosal 80 mg+cilostazol 50-100 mg/hr, atau asetosal 80 mg + dipiridamol 75-150 mg/hr.
4.      Tindakan Invasif
·               Flebotomi untuk polisitemia.
·           Enarterektomi karotis hanya dilakukan pada pasien yang simtomatik dengan stenosis 70-99% unilateral dan baru.
·           Tindakan bedah lainnya (reseksi artery vein malformation [AVM], kliping aneurisma Berry).

Askep Neurosis


Asuhan keperawatan NEUROSIS

A. Pengertian Neurosis
Neurosis kadang-kadang disebut psikoneurosis dan gangguan jiwa (untuk membedakannya dengan psikosis atau penyakit jiwa. Menurut Singgih Dirgagunarsa (1978 : 143), neurosis adalah gangguan yang terjadi hanya pada sebagian dari kepribadian, sehingga orang yang mengalaminya masih bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan biasa sehari-hari atau masih bisa belajar, dan jarang memerlukan perawatan khusus di rumah sakit.
Dali Gulo (1982 : 179), berpendapat bahwa neurosis adalah suatu kelainan mental, hanya memberi pengaruh pada sebagaian kepribadian, lebih ringan dari psikosis, dan seringkali ditandai dengan : keadaan cemas yang kronis, gangguan-gangguan pada indera dan motorik, hambatan emosi, kurang perhatian terhadap lingkungan, dan kurang memiliki energi fisik, dst.
Neurosis, menurut W.F. Maramis (1980 : 97), adalah suatu kesalahan penyesuaian diri secara emosional karena tidak diselesaikan suatu konflik tidak sadar.
Berdasarkan pendapat mengenai neurosis dari para ahli tersebut dapat diidentifikasi pokok-pokok pengertian mengenai neurosis sebagai berikut:
a. Neurosis merupakan gangguan jiwa pada taraf ringan.
b. Neurosis terjadi pada sebagian kecil aspek kepribadian.
c. Neurosis dapat dikenali berdasarkan gejala yang paling menonjol yaitu kecemasan.
d. Penderita neurosis masih mampu menyesuaikan diri dan mampu melakukan aktivitas sehari-hari.
e. Penderita neurosis tidak memerlukan perawatan khusus di rumah sakit jiwa.
B. Macam-macam neurosis
Kelainan jiwa yang disebut neurosis ditandai dengan bermacam-macam gejala. Dan berdasarkan gejala yang paling menonjol, sebutan atau nama untuk jenis neurosis diberikan. Dengan demikian pada setiap jenis neurosis terdapat ciri-ciri dari jenis neurosis yang lain, bahkan kadang-kadang ada pasien yang menunjukkan begitu banyak gejala sehingga gangguan jiwa yang dideritanya sukar untuk dimasukkan pada jenis neurosis tertentu (W.F. Maramis, 1980 : 258).
Bahwa nama atau sebutan untuk neurosis diberikan berdasarkan gejala yang paling menjonjol atau paling kuat. Atas dasar kriteria ini para ahli mengemukakan jenis-jenis neurosis sebagai berikut (W.F. Maramis, 1980 : 257-258).
1. Neurosis cemas (anxiety neurosis atau anxiety state)
a. Gejala-gejala neurosis cemas
Tidak ada rangsang yang spesifik yang menyebabkan kecemasan, tetapi bersifat mengambang bebas, apa saja dapat menyebabkan gejala tersebut. Bila kecamasan yang dialami sangat hebat maka terjadi kepanikan.
1) Gejala somatis dapat berupa sesak nafas, dada tertekan, kepala ringan seperti mengambang, lekas lelah, keringat dingan, dst.
2) Gejala psikologis berupa kecemasan, ketegangan, panik, depresi, perasaan tidak mampu, dst.
b. Faktor penyeban neurosis cemas
Menurut Maramis (1998 : 261), faktor pencetus neurosis cemas sering jelas dan secara psikodinamik berhubungan dengan faktor-faktor yang menahun seperti kemarahan yang dipendam.
c. Terapi untuk penderita neurosis cemas
Terapi untuk penederita neurosis cemas dilakukan dengan menemukan sumber ketakutan atau kekuatiran dan mencari penyesuaian yang lebih baik terhadap permasalahan. Mudah tidaknya upaya ini pada umumnya dipengaruhi oleh kepribadian penderita. Ada beberapa jenis terapi yang dapat dipilih untuk menyembuhkan neurosis cemas, yaitu : 1) psikoterapi individual, 2) psikoterapi kelompok, 3) psikoterapi analitik, 4) sosioterapi, 5) terapi seni kreatif, 6) terapi kerja, 7) terapi perilaku, dan farmakoterapi.
2. Histeria
a. Gejala-gejala histeria
Histeria merupakan neurosis yang ditandai dengan reaksi-reaksi emosional yang tidak terkendali sebagai cara untuk mempertahankan diri dari kepekaannya terhadap rangsang-rangsang emosional. Pada neurosis jenis ini fungsi mental dan jasmaniah dapat hilang tanpa dikehendaki oleh penderita. Gejala-gejala sering timbul dan hilang secara tiba-tiba, teruma bila penderita menghadapi situasi yang menimbulkan reaksi emosional yang hebat.
b. Jenis-jenis histeria
Histeria digolongkan menjadi 2, yaitu reaksi konversi atau histeria minor dan reaksi disosiasi atau histeria mayor.

1) Histeria minor atau reaksi konversi
Pada histeria minor kecemasan diubah atau dikonversikan (sehingga disebut reaksi konversi) menjadi gangguan fungsional susunan saraf somatomotorik atau somatosensorik, dengan gejala : lumpuh, kejang-kejang, mati raba, buta, tuli, dst.
2) Histeria mayor atau reaksi disosiasi
Histeria jenis ini dapat terjadi bila kecemasan yang yang alami penderita demikian hebat, sehingga dapat memisahkan beberapa fungsi kepribadian satu dengan lainnya sehingga bagian yang terpisah tersebut berfungsi secara otonom, sehingga timbul gejala-gejala : amnesia, somnabulisme, fugue, dan kepribadian ganda.
c. Faktor penyebab histeria
Menurut Sigmund Freud, histeria terjadi karena pengalaman traumatis (pengalaman menyakitkan) yang kemudian direpresi atau ditekan ke dalam alam tidak sadar. Maksudnya adalah untuk melupakan atau menghilangkan pengalaman tersebut. Namun pengalaman traumatis tersebut tidak dapat dihilangkan begitu saja, melainkan ada dalam alam tidak sadar (uncociousness) dan suatu saat muncul kedalam sadar tetapi dalam bentuk gannguan jiwa.
d. Terapi terhadap penderita histeria
Ada beberapa teknik terapi yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan hysteria yaitu :
1) Teknik hipnosis (pernah diterapkan oleh dr. Joseph Breuer);
2) Teknik asosiasi bebas (dikembangkan oleh Sigmund Freud);
3) Psikoterapi suportif.
4) Farmakoterapi.
3. Neurosis fobik
a. Gejala-gejala neurosis fobik
Neurosis fobik merupakan gangguang jiwa dengan gejala utamanya fobia, yaitu rasa takut yang hebat yang bersifat irasional, terhadap suatu benda atau keadaan. Fobia dapat menyebabkan timbulnya perasaan seperti akan pingsan, rasa lelah, mual, panik, berkeringat, dst.
Ada bermacam-macam fobia yang nama atau sebutannya menurut faktor yang menyebabkan ketakutan tersebut, misalnya :
1) Hematophobia: takut melihat darah
2) Hydrophobia: takut pada air
3) Pyrophibia: takut pada api
4) Acrophobia: takut berada di tempat yang tinggi
b. Faktor penyebab neurosis fobik
Neurosis fobik terjadi karena penderita pernah mengalami ketakutan dan shock hebat berkenaan dengan situasi atau benda tertentu, yang disertai perasaan malu dan bersalah. Pengalaman traumastis ini kemudian direpresi (ditekan ke dalam ketidak sadarannya). Namun pengalaman tersebut tidak bisa hilang dan akan muncul bila ada rangsangan serupa.
c. Terapi untuk penderita neurosis fobik
Menurut Maramis, neurosa fobik sulit untuk dihilangkan sama sekali bila gangguan tersebut telah lama diderita atau berdasarkan fobi pada masa kanak-kanak. Namun bila gangguan tersebut relatif baru dialami proses penyembuhannya lebih mudah. Teknik terapi yang dapat dilakukan untuk penderita neurosis fobik adalah :
1) Psikoterapi suportif, upaya untuk mengajar penderita memahami apa yang sebenarnya dia alami beserta psikodinamikanya.
2) Terapi perilaku dengan deconditioning, yaitu setiap kali penderita merasa takut dia diberi rangsang yang tidak menyenagkan.
3) Terapi kelompok.
4) Manipulasi lingkungan.
4. Neurosis obsesif-kompulsif
a. Gejala-gejala neurosis obsesif-kompulsif
Istilah obsesi menunjuk pada suatu ide yang mendesak ke dalam pikiran atau menguasai kesadaran dan istilah kompulsi menunjuk pada dorongan atau impuls yang tidak dapat ditahan untuk tidak dilakukan, meskipun sebenarnya perbuatan tersebut tidak perlu dilakukan.
Contoh obsesif-kompulsif antara lain ;
1) Kleptomania : keinginan yang kuat untuk mencuri meskipun dia tidak membutuhkan barang yang ia curi.
2) Pyromania : keinginan yang tidak bisa ditekan untuk membakar sesuatu.
3) Wanderlust : keinginan yang tidak bisa ditahan untuk bepergian.
4) Mania cuci tangan : keinginan untuk mencuci tangan secara terus menerus.
b.Faktor penyebab neurosis obsesif-kompulsif
Neurosis jenis ini dapat terjadi karena faktor-faktor sebagai berikut (Yulia D., 2000 : 116-117).
1) Konflik antara keinginan-keinginan yang ditekan atau dialihkan.
2) Trauma mental emosional, yaitu represi pengalaman masa lalu (masa kecil).
c. Terapi untuk penderita neurosis obsesif-kompulsif
1) psikoterapi suportif;
2) penjelasan dan pendidikan;
3) terapi perilaku.

5. Neurosis depresif
a. Gejala-gejala neurosis depresif
Neurosis depresif merupakan neurosis dengan gangguang utama pada perasaan dengan ciri-ciri : kurang atau tidak bersemangat, rasa harga diri rendah, dan cenderung menyalahkan diri sendiri. Gejala-gejala utama gangguan jiwa ini adalah :
1) gejala jasmaniah : senantiasa lelah.
2) gejala psikologis : sedih, putus asa, cepat lupa, insomnia, anoreksia, ingin mengakhiri hidupnya, dst.
c. Faktor penyebab neurosis depresif
Menurut hasil riset mutakhir sebagaimana dilakukan oleh David D. Burns (1988 : 6), bahwa depresi tidak didasarkan pada persepsi akurat tentang kenyataan, tetapi merupakan produk “keterpelesetan’ mental, bahwa depresi bukanlah suatu gangguan emosional sama sekali, melainkan akibat dari adanya distorsi kognitif atau pemikiran yang negatif, yang kemudian menciptakan suasana jiwa, terutama perasaan yang negatif pula.
Burns berpendapat bahwa persepsi individu terhadap realitas tidak selalu bersifat objektif. Individu memahami realitas bukan bagaimana sebenarnya realitas tersebut, melainkan bagaimana realitas tersebut ditafsirkan. Dan penafsiran ini bisa keliru bahkan bertentangan dengan realitas sebenarnya.
d. Terapi untuk penderita neurosis depresif
Untukmenyembukan depresi, Burns (1988 : 5) telah mengembang-kan teknik terapi dengan prinsip yang disebut terapi kognitif, yang dilakukan dengan prinsip sebagai berikut.
1) Bahwa semua rasa murung disebabkan oleh kesadaran atau pemikiran ang bersangkutan.
2) Jika depresi sedang terjadi maka berarti pemikiran telah dikuasai oleh kekeliruan yang mendalam.
3) Bahwa pemikiran negative menyebabkan kekacauan emosional.
Terapi kognitif dilakukan dengan cara membetulkan pikiran yang salah, yang telah menyebabkan terjadinya kekacauan emosional. Selain terapi kognitif, bisa pula pendrita depresi mendapatkanfarmakoterapi.
6. Neurasthenia
a. Gejala-gejala neurasthenia
Neurasthenia disebutjuga penyakit payah. Gejala utama gangguan ini adalah tidak bersemangat, cepat lelah meskipun hanya mengeluarkan tenaga yang sedikit, emosi labil, dan kemampuan berpikir menurun.
Di samping gejala-gejala utama tersebut juga terdapat gejala-gejala tambahan, yaitu insomnia, kepala pusing, sering merasa dihinggapi bermacam-macam penyakit, dst.
b. Faktor penyebab neurasthenia
Neurasthenia dapat terjadi karena beberapa faktor (Zakiah Daradjat, 1983 : 34), yaitu sebagai berikut.
1) Terlalu lama menekan perasaan, pertentangan batin, kecemasan.
2) Terhalanginya keinginan-keinginan.
3) Sering gagal dalam menghadapi persaingan-persaingan
c. Terapi untuk penderita neurasthenia
Upaya membantu penyembuahn penderita neurasthenia dapat dilakukan dengan teknik terapi sebagai berikut.
1) Psikoterapi supportif;
2) Terapi olah raga;
3) Farmakoterapi.

C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
Data yang perlu dikaji
Setiap faktor yang mengganggu kebutuhan dasar manusia akan makanan, air, kenyamanan, dan keamanan.
·         Situasional
Berhubungan dengan ancaman aktual atau yang dirasakan terhadap konsep diri :
ü  Kehilangan benda-benda yang dimiliki
ü  Kegagalan (atau keberhasilan)
ü  Perubahan dalam status atau prestise
ü  Kurang penghargaan dari orang lain
·         Dilema etik
Berhubungan dengan kehilangan orang terdekat (aktual atau risti) :
ü  Kematian
ü  Perceraian
ü  Tekanan budaya
ü  Perpindahan
ü  Perpisahan sementara atau permanen
Berhubungan dengan ancaman integritas biologis (aktual atau risti) :
ü  Menjelang kematian
ü  Serangan
ü  Penyakit
ü  Prosedur invasive


Berhubungan dengan perubahan dalam lingkungan (aktual atau risti) :
ü  Perawatan rumah sakit
ü  Perpindahan
ü  Pensiun
ü  Bahaya terhadap keamanan
ü  Polutan lingkungan
Berhubungan dengan perubahan status sosioekonomi (aktual atau risti) :
ü  Pengangguran
ü  Pekerjaan baru
ü  Promosi
Berhubungan dengan transmisi ansietas orang lain terhadap individu :
ü  Maturasional
ü  Bayi/anak
ü  Berhubungan dengan perpisahan
ü  Berhubungan dengan lingkungan atau orang asing
ü  Berhubungan dengan perubahan hubungan sebaya
ü  Remaja
Berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri :
ü  Perkembangan seksual
ü  Perubahan hubungan dengan teman sebaya
ü  Dewasa
Berhubungan dengan konsep diri :
ü  Kehamilan
ü  Menjadi orang tua
ü  Perubahan karir
ü  Efek penuaan
ü  Lansia
Berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri :
ü  Kehilangan sensori
ü  Kehilangan motorik
ü  Masalah financial
ü  Perubahan pensiun

Contoh diagnosa keperawatan
1.      Ketidak efektifan koping individu
Kemungkinan penyebab :
1.      Krisis situasional atau krisis maturasional
2.      Riwayat konflik keluarga dan system pendukung yang tidak adekuat
3.      Stress internal yang berat dari banyak perubahan kehidupan
4.      Kerentanan herediter
5.      Riwayat prolaps pada katup mitral atau tirotoksikosis
Batasan karakteristik :
1.      Gejala fisik yang dialami selama serangan
2.      Perlaku menghindar
3.      Tidak mampu menyelesaikan masalah
4.      Menggunakan zat psikoaktif untuk bersosialisasi atau untuk menoleransi ketakutan dari serangan panik
5.      Menyatakan secara verbal ketakutannya yang besar akan serangan lainnya.

Tujuan jangka panjang :
Klien menunjukkan kemampuan untuk mengatasi panik dengan mengurangi perilaku yang disebabkan oleh keadaan panik.
Tujuan jangka pendek 1
Klien bercerita tentang stressor kehidupan, terutama yang berhubungan dengan serangan panic dimasa lalu.
Intervensi dan rasional
1.   Dorong klien untuk mengungkapkan secara verbal perasaan yang begitu kuat, tidak nyaman, khususnya ansietas, rasa bersalah dan frustasi.
Rasional :
Perasaan sakit yang tidak diakui adalah stressor, mengungkapkan perasan yang tidak nyaman membantu meredakan stress.
2.   Bantu klien mengidentifikasi stressor internal yang umumnya terjadi sebelum serangan.
Rasional :
Sebelum klien dapat memperoleh kendali terhadap serangan, stressor yang berhubungan dengan panic harus diidentifikasi.
3.   Diskusikan dan analisa situasi panic dengan klien, berfokus pada stimulus eksternal yang merangsang serangan.


Rasional :
Analisa stimulus eksternal yang menyertai panic membantu klien mengantisipasi dan pada akhirnya mengontrol serangan.
4.   Diskusikan mekanisme koping, seperti gerakan fisik dan latihan napas dalam yang lambat dan bagaimana mekansme ini dapat panik.
Rasional :
Klien perlu mengetahui metode koping lain yang dapat digunakan untuk mengatasi ansietas yang tidak dapat ditoleransi akibat serangan panik.
Tujuan jangka pendek 2
Klien menunjukkan perilaku yang membantu mengontrol keadaan panic.
Intervensi dan rasional
1.      Ajari klien strategi untuk mengatasi stressor internal, seperti ketakutan atau perasaan tidak menentu.
Rasional :
Memiliki pengetahuan tentang cara alternative untuk menangani stress akan meningkatkan kendali perilaku.
2.      Ajari klien tentang cara berpindah dari keadaan internal ke keadaan eksternal untuk mengalihkan perhatian klien dari dirinya sendiri.
Rasional :
Keterampilan ini memampukan klien untuk melepaskan ansietas melalui focus keluar.
3.      Diskusikan hubungan antara ansietas dengan respons fisiologis yang secara khas di tunjukkan dalam serangan panic
Rasional :
Tindakan ini memfasilitasi daya tolak klien kedalam hubungan antara ansietas dan gejala fisik akibat serangan panic.
4.      Bantu klien memodifikasi pikiran spontan yang enyertai gejala fisik ketika ansietas mulai timbul.
Rasional :
Klien perlu mengetahui bahwa gejala fisiologis ansietas diikuti oleh pikiran spontan yang mengganggu penilaian tentang apa yang sedang terjadi.
5.      Dorong klien membentuk system pendukung dan mencari bantuan ketika tanda dan gejala ansietas muncul.
Rasional :
Mengembangkan dan menggunakan system pendukung meningkatkan tanggung jawab pribadi dan pengakuan pribadi tentang kebutuhan memperoleh bantuan pada saat stress.
2.      Ketakutan
Kemungkinan penyebab :
1.      Konflik emosional yang tidak disadari
2.      Salah menempatkan ansietas
3.      Pengalaman hidup di masa lalu
4.      Kurang engetahuan
5.      Kesalahan persepsi sensori
Batasan karakeristik :
1.      Manifestasi fisik dan emosi yang disebabkan oleh ansietas berat
2.      Mengungkapkan rasa tidak nyaman terhadap objek atau situasi yang menakutkan
3.      Tidak mampu melaksanakan aktivitas hidup sehari-hari
4.      Menarik diri dari aktivitas yang biasa ketika rasa takutnya berlebihan
5.      Serangan panik.
Tujuan angka panjang :
Klien mempelajari cara untuk tetap berfungsi dengan baik ketika menghadapi stimulus fobia tanpa mengalami ansietas hebat atau membuat ia tidak mampu.
Tujuan jangka pendek 1
Klien megungkapkan rasa takut dan mengidentifikasi ansietas yang timbul akibat fobia.
Intervensi dan rasonal
1.      Dorong klien untuk mendiskusikan obek atau situasi yang menakutkan.
Rasional  :
Dskusi tentang bagaimana klien mempersepsikan fobia memberi dasar untuk membuat program terapi.
2.      Bersama klien berupaya mengidentifikasi konflik dasar yang menimbulkan fobia.
Rasional :
Dengan megidentifikasi konflik dasar dan ansietas yang ditimbulkan, klien dapat menghubungkan pengalaman ansietas dalam diri dengan fobianya.
3.      Bantu klien mengidentifikasikan dan mendiskusikan pikiran dan perasaan yang turut menimbulkan rasa takut.
Rasional :
Pengungkapan pikiran dan perasaan memungkinkan klien untuk menggali isu-isu yang mungkin ditekan (secara sadar mematikan kesadarannya) atau belum terselesaikan.
4.      Identifikasi apakah klien mengalami depresi dan atasi
Rasional :
Klien depresi sulit berkonsentrasi dan tidak mampu berfokus pada strategi untuk mengatasi respon fobia.
5.      Ajari klien bahwa fobia adalah sebuah gambaran simbolik dari ansietas.
Rasional :
Kesadaran bahwa fobia timbul dari kecemasan membantu klien untuk tidak berhubungan dengan respon fobik dan memfokuskan perhatian pada masalah yang menyebabkan ansieas.
Tujuan jangka pendek 2
Klien berpartisipasi dalam program densitiasi ( pengurangan sensitivitas) dan memperagakan cara-cara koping untuk mengatasi fobia.

Intervensi dan rasional
1.      Sebelum program desentitisasi dimulai, yakinkan klien bahwa keamanannya terjamin
Rasional :
Klien perlu merasa terlindungi dan aman untuk meneruskan program.
2.      Diskusikan fobia secara mendetil, ajarkan keterampilan koping seperti asertif tekhnik berhenti berfikir dan teknik menyelesaikan masalah 
Rasional :
Dapat mebentuk koping efektif
3.      Minta klien mempelajari dan mempraktekkan latihan relaksasi dan imajinasikan terpimpin.
Rasional :
Strategi ini membantu mengurangi tingkat ansietas klien.
4.      Bersama klien, esplorasi pikiran, perasaan atau peristiwa yang dapat mencetuskan respons fobik.
Rasional :
Kesadaran akan apa yang mencetuskan reaksi fobik dapat memampukan klien untuk mempelajari cara alternative untuk menangani ansietas.